Saya teringat salah seorang senior saya, bang Imam Setiawan. dia sangat baik dan menginspirasi. baru-baru ini dia mendapatkan titel s.Psi. lalu jika kita bertanya, kalau kita sudah dapat titelnya, mau jadi apa?
ini dia jawabannya:
ini dia jawabannya:
Sekitar
lima atau enam tahun yang lalu, ketika saya masih duduk di bangku SMA, dunia
Psikologi adalah dunia asing dan baru bagi saya. Tapi anehnya, saya begitu
tertarik dengan ilmu tentang perilaku manusia tersebut. Hingga akhirnya saya
memutuskan untuk kuliah di bidang psikologi. Sebuah pilihan yang anomali,
mengingat tradisi alumni di SMA saya nyaris semuanya masuk di bidang teknik
atau kedokteran. Saat itu pun saya sama sekali tidak mempertimbangkan prospek
pekerjaan untuk bidang psikologi. Saya hanya berbekal rasa penasaran dan
ketertarikan yang begitu besar pada bidang psikologi.
Pada masa
itu, saya masih sering menjumpai orang-orang yang melihat dunia psikologi
berkelindan dengan dunia Rumah Sakit Jiwa dan segala penyakit kejiwaan lainnya.
Anggapan yang tidak salah karena sejarah ilmu psikologi memang berawal dari
ranah psikologi klinis. Setelah masuk ke dunia perkuliahan, barulah saya sadar
bahwa cakupan ilmu psikologi teramat luas. Saking luasnya, bisa dikatakan
selagi masih ada manusia, maka ilmu psikologi akan tetap berkembang. Umumnya ilmu
psikologi di Indonesia dibagi menjadi beberapa konsentrasi, seperti psikologi
pendidikan, psikologi klinis, psikologi industri dan organisasi, psikologi
perkembangan, dan psikologi sosial.
Saya
sendiri ketika masih kuliah sebenarnya lebih berkonsentrasi pada materi
psikologi klinis dan perkembangan. Tugas akhir saya pun berupa studi kualitatif
dengan subjek penderita thalassemia. Tapi nyatanya, sejak lulus hingga saat ini
saya berkarier di bidang pengelolaan sumber daya manusia, dalam dunia industri.
Biasanya, posisi sarjana psikologi dalam sebuah perusahaan berada di bagian Human
Resources Development. Nah, menariknya, tidak semua posisi Human
Resources terpaku pada latar belakang ilmu psikologi. Barangkali jika
syaratnya adalah ilmu manajemen atau pun ilmu hukum memang masih berada dalam
ranah pengembangan sumber daya manusia. Tapi beberapa perusahaan, ada yang
membuka posisi Human Resources dengan persyaratan sarjana teknik
informatika dan teknik sipil. Kalau begitu, apa spesialnya seorang sarjana
psikologi?
Seperti
yang telah saya katakan di awal artikel ini, ilmu psikologi cakupannya amat
luas. Sehingga tidak menutup kemungkinan ia bersinggungan, bahkan bergabung
dengan disiplin ilmu yang lain. Apalagi ditambah dengan menjamurnya buku-buku
psikologi populer yang umumnya menjadi best seller di toko buku besar.
Untuk profesi-profesi yang kelihatannya “dekat” dengan ilmu psikologi, seperti
motivator, trainer, ataupun konselor, toh banyak diisi oleh orang yang tidak
bergelar sarjana psikologi. Beberapa rekan saya sempat berseloroh bahwa para
motivator atau para trainer itu telah “memakan” lahannya orang psikologi. Bagi
saya pribadi, kenyataan seperti itu sebenarnya adalah tantangan nyata bagi para
sarjana psikologi agar senantiasa meningkatkan dan memperbarui kompetensi
keilmuannya.
Seorang
sarjana psikologi idealnya mengetahui hukum-hukum dasar dalam pola perilaku
manusia, baik di dunia pendidikan, klinis, atau pun dunia industri. Penguasaan
terhadap alat tes adalah salah satu kompetensi penting bagi sarjana psikologi,
tapi bukan yang terpenting. Sejatinya alat tes hanyalah media untuk melakukan
penilaian terhadap kondisi psikologis seseorang, baik sisi kecerdasan atau sisi
kepribadian. Psikotes menjadi semacam salah satu sumber untuk melakukan
penilaian . Selain itu, sarjana psikologi harus mampu menjadi seorang pengamat
perilaku yang ulung sekaligus pendengar yang aktif. Menjadi pendengar aktif
bukan hal mudah, karena kita harus bisa fokus terhadap apa yang dikatakan oleh
orang lain, sekaligus bisa memberikan tanggapan yang tepat terhadap apa yang
telah ia utarakan.
Kode etik
psikologi memang mengatur masalah pengetesan psikologi (psikotes) yang hanya
boleh dilakukan oleh kalangan dari dunia psikologi. Namun untuk penilaian sikap
yang lain, seperti wawancara misalnya, bisa saja dilakukan oleh orang yang
tidak memiliki dasar ilmu psikologi. Berdasarkan pengalaman saya di dunia
kerja, terlihat perbedaan cara melakukan wawancara antara seorang sarjana
psikologi dengan yang bukan sarjana psikologi. Pewawancara yang bukan sarjana
psikologi, cenderung mendominasi sesi wawancara dan hanya menyediakan ruang
yang sedikit bagi pelamar kerja untuk menggambarkan kondisi dirinya. Padahal
wawancara adalah salah satu media untuk menilai dan membiarkan pelamar kerja
terbuka terhadap kondisi dirinya. Maka idealnya, dalam sesi wawancara,
pewawancara bicara lebih sedikit daripada yang diwawancarai. Tapi itu biasanya
tergantung pada jam terbang seorang pewawancara. Semakin sering ia mewawancarai
orang, biasanya kompetensi mendengarkan aktif akan semakin terasah.
Maka,
daripada mengutuk kegelapan, lebih baik kita menyalakan lilin. Daripada para
sarjana psikologi berkeluh kesah karena merasa bidangnya diisi oleh orang-orang
non psikologi (bidang Human Resources, motivator, atau trainer), lebih
baik kembangkan terus ilmu psikologi dalam diri anda. Bagaimanapun juga, saya
yakin para sarjana psikologi tetap memiliki ruh dan DNA psikologi yang tidak
dimiliki oleh orang-orang dari luar bidang psikologi. Hanya masalahnya,
bagaimana cara anda menjaga agar ruh tersebut tetap hidup atau membiarkannya
mati tak berbekas.
sumber:
http://diy4h.wordpress.com/40/
0 komentar:
Posting Komentar